Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai K

Rp59.500

Penulis: H. Maulwi Saelan
Jumlah halaman: xviii + 486 hlm
Ukuran: 23 x 23 cm
Tahun terbit: 2008
Penerbit: Visimedia Pustaka
ISBN: 979-104-399-X

SKU: 979104399X
Category:

Share on:

  • Deskripsi

Deskripsi

Judul             : Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66
Penulis         : H. Maulwi Saelan
Ukuran          : 15 x 23 cm
Tebal
             :  xviii + 486 
harga            : Rp59.500
ISBN              : 979-104-399-X
Kata pengantar    : Dr Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI

Saelan, percayalah! Saya yakin nanti sejarah akan mengungkapkan kebenaran dan siapa yang sebetulnya benar, Soeharto atau Soekarno! (Bung Karno)

Itu salah satu kalimat yang diucapkan Bung Karno (BK) kepada Maulwi Saelan, ajudannya. Kalimat yang meluncur dari bibir BK tersebut termuat dalam buku, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 yang ditulis oleh H. Maulwi Saelan.

Buku setebal 504 halaman ini oleh Visimedia (www.visimediapustaka.com) diterbitkan kembali sebagai bahan refleksi dan kontemplasi seluruh anak bangsa dalam menyongsong masa depan. Karena, meski sebagai peristiwa, sejarah hanya sekali terjadi (ein maleg), sebagai kisah dia sangat mungkin berulang (repete).

Berikut beberapa ucapan yang tertangkap dalam buku ini.
Kejatuhan Bung Karno juga diikuti dengan penangkapan orang-orang yang berpihak kepadanya. Pada awal Orde Baru, Maulwi Saelan sempat ditahan beberapa tahun sebelum akhirnya berkiprah dalam bidang pendidikan. Ia memimpin sekolah Islam Al Azhar melalui Yayasan Sifa Budi (di Bendungan Hilir dan Kemang Raya Jakarta). Setelah mengawal gawang kesebelasan Indonesia, mengawal kemerdekaan Indonesia, mengawal Presiden pertama, pada hari tuanya Saelan berkonsentrasi mengawal pendidikan generasi muda. (Dr Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI)

“Kalau pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri. Dan kalau kalian tak mampu melakukan itu, lebih baik kalian jangan pakai celana lagi, tapi tukar saja dengan sarung!” (DN Aidit)

Bung Karno meninggalkan Istana sebelum 16 Agustus 1967, keluar hanya memakai celana piyama warna krem dan kaos oblong cap cabe. Baju piyamanya disampirkan di pundak, memakai sandal cap Bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas koran yang digulung agak besar, isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. (Sogol Djauhari Abdul Muchid, anggota DKP)

De Belandas hebben mij nog goed behandelt, maar, bangsa sendiri begitu kasar dan kejam. Is dit als dank dat ik gekregen heb, voor wat ik gedaan heb voor mijn volk en vanderland. Ik kan dit alles maar niet begrijpen. Apakah ini bentuk terima kasih yang kudapat atas apa yang telah kulakukan untuk rakyat dan Tanah Air? Aku tidak bisa mengerti semua ini. Ik wou maar dat ik de schot krijgt. Aku ingin agar aku ditembak saja.” (Bung Karno)