Oleh: Lulu Fitri Rahman
Biasanya buku klasik cukup menguras waktu dan tenaga penerjemahnya. Namun syukurlah, The First Case of Sherlock Holmes: A Study in Scarlet tidak seberat buku-buku klasik yang saya terjemahkan sebelumnya. Saya masih bisa menangkap ceritanya tanpa harus bolak-balik membaca teks supaya mengerti. Untungnya, buku ini beken dan sering diulas. Jadi, bisa dibilang saya tidak kekurangan bahan riset jika menemukan masalah, meskipun keputusan tetap di tangan saya sendiri.
Meskipun begitu, bukan berarti buku ini bebas tantangan. Ada bagian-bagian yang sukses membuat saya tidak tidur pulas berhari-hari. Contohnya kasus berikut. Dalam suatu kalimat, Watson berkata, “I keep a bull pup”.
Lengkapnya, I laughed at this cross-examination. “I keep a bull pup,” I said, “and I object to rows because my nerves are shaken, and I get up at all sorts of ungodly hours, and I am extremely lazy. I have another set of vices when I’m well, but those are the principal ones at present.”
Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/2c/ArthurConanDoyle_AStudyInScarlet_annual.jpg/200px-ArthurConanDoyle_AStudyInScarlet_annual.jpg |
Konteksnya, karena akan tinggal serumah dengan Sherlock, dia merasa perlu menyebutkan kekurangan-kekurangannya supaya Sherlock tidak kaget kelak.
Banyak forum Sherlockian yang membahas apa sebenarnya maksud Watson. Ada yang bilang anjing, ada yang bilang senjata, ada yang kukuh Watson bilang dirinya pemarah (meski sepanjang cerita, saya tidak pernah melihat Watson sebagai sosok emosional). Akhirnya, setelah merenung, saya mengambil kesimpulan bahwa Watson menyimpan senjata (karena memang dia punya), dan tidak semua orang senang teman serumahnya membawa senjata ke mana-mana. Saya menyerahkan catatan ke editor berisi pertimbangan saya, yang ternyata diterima.
Saya sempat diberitahu seorang teman penerjemah yang sudah menonton film layar lebarnya bahwa di rumah Sherlock Holmes memang ada anjing pit bull yang suka dicekoki minuman keras oleh sang detektif. Jadi, ada kemungkinan maksud “bull pup” itu si anjing pit bull ini (dari pup=puppy). Namun, mungkin juga si sutradara mengalami fase bingung yang sama dengan saya, dan itulah tafsiran “pit bull” menurutnya.
Tantangan lain dalam menerjemahkan buku ini adalah minimnya pengetahuan saya tentang kaum Mormon dan gerakan Latter Day Saints yang melatari novel ini. Namun begitu, itu bukan masalah, apalagi di zaman mbah Google seperti sekarang ini. Malah, saking asyiknya meramban soal itu, saya kadang jadi harus memaksa diri kembali ke bahan terjemahan saya. Meskipun begitu, bukan berarti penjelasan tentang organisasi tersebut dalam buku ini bisa diterima mentah-mentah. Dari yang saya baca, Conan Doyle hanya menulis fiksi, dan penggambaran kaum Mormon dalam buku ini interpretasinya semata.
Sumber: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a8/Friston-holmes.gif/220px-Friston-holmes.gif |
Oh ya, satu lagi tantangannya. Kebetulan buku ini pernah diterbitkan oleh beberapa penerbit lain. Dari diskusi dengan teman-teman yang pernah menerjemahkan fiksi klasik, dengan menerima tugas semacam ini, mau tidak mau kita harus siap jika terjemahan kita dibanding-bandingkan. Namun, bukankah itu “risiko” yang harus diambil dan saya sudah gembira bisa terlibat penerjemahan novel legendaris ini.
Ketika buku ini terbit, saya senang karena Visimedia menampilkan cover yang sangat ciamik menurut saya. Ditambah lagi, ternyata banyak pembaca yang berpendapat serupa. Selain itu, editor juga mencantumkan banyak catatan kaki yang menambah nilai bobot buku ini. Semoga buku ini bisa menyenangkan hati pembaca.