Siapa saja dan bagaimana membedakan subyek hukum. Berikut tanya jawab hukum dengan Rocky Marbun, SH, MH dari Law Office Trust & Success. Selain itu, Rocky Marbun telah meluncurkan buku hukum praktis berjudul Cerdik dan Taktis Menghadapi Kasus Hukum.
Siapa saja dan bagaimana membedakan subyek hukum. Berikut tanya jawab hukum dengan Rocky Marbun, SH, MH dari Law Office Trust & Success. Selain itu, Rocky Marbun telah meluncurkan buku hukum praktis berjudul Cerdik dan Taktis Menghadapi Kasus Hukum.
***
Subyek hukum adalah manusia atau badan hukum yang dapat mempunyai hak dan kewajiban . Bagaimanakah macamnya subyek hukum itu dapat dibedakan? Mohon penjelasannya.
Jawab:
Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).
Yang membedakan keduanya adalah bahwa manusia Pengertian secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek hukum yaitu;n Pertama, manusia mempunyai hak-hak subyektif dan kedua, kewenangan hukum, dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan (Pasal 2 KUH Perdata) disebut juga Teori Fiksi, namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah ; orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata). Namun ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata telah dihapus sebagian, yang berkaitan dengan wanita sebagai subyek hukum, oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung. Sehingga wanita dewasa pun sekarang dianggap sebagai subyek hukum juga.
Sedangkan pada badan hukum, tidak serta merta memperoleh status sebagai subyek hukum, namun melalui proses pendaftaran hingga pengesahan.
Hal tersebut didukung oleh pendapat dari Salim HS, SH, Ms; bahwa teori yang paling berpengaruh dalam hukum positif berkaitan keberadaan Badan Hukum sebagai Subyek Hukum adalah Teori Konsensi dimana beliau bahwa berpendapat badan hukum dalam negara tidak dapat memiliki kepribadian hukum (hak dan kewajiban dan harta kekayaan) kecuali di perkenankan oleh hukum dalam hal ini berarti negara sendiri.
Kalimat "diperkenankan" diartikan sebagai pengesahan oleh Negara melalui Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) dan Pengadilan Negeri.
Apakah semua orang dengan sendirinya pasti menjadi subyek hukum?
Jawab:
Berdasarkan teori fiksi (Pasal 2 KUHPerdata), bahwa setiap bayi yang belum dilahirkan telah memiliki hak. Artinya bahwa seluruh manusia pada prinsipnya telah menjadi subyek hukum, namun yang kemudian dikecualikan oleh UU adalah yang dianggap tidak cakap / tidak mampu. Sehingga yang membedakan antara subyek hukum yang cakap dan subyek hukum yang tdk cakap adalah berkaitan dengan pemenuhan tanggung jawab. Bahwa subyek hukum yang tidak cakap tdk dpt dikenakan tanggung jawab secara langsung namun melalui pengampu atau curatele nya.
Bilamanakah seseorang itu berakhir sebagai subyek hukum?
Jawab:
Manusia sebagai Subyek Hukum, berakhir sebagai Subyek Hukum apabila:
1. Telah meninggal dunia
2. Telah dinyatakan oleh UU bahwa tidak mampu bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata
Subyek Hukum yang berbentuk Badan Hukum, berakhir apabila:
1. Membubarkan dirinya; atau
2. Telah dinyatakan berakhir dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht)
Dalam mencapai kebutuhan hidup manusia memerlukan kerja sama sehingga timbullah hukum Perikatan. Apakah inti dari yang diatur dalam satu perikatan?
Jawab:
Yang perlu ditegaskan pertama kali adalah bahwa jangan sampai pemahaman perikatan bercampur aduk dengan pemahaman perjanjanjian.
Pengertian perikatan (verbintenis) memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengertian perjanjian (overeenkomst). Perikatan adalah sebagai suatu hubungan hukum yang melekatkan hak dan kewajiban diantara para pihaknya, yang lahir baik karena adanya suatu persetujuan (Pasal 1338 KUHPerdata) maupun karena undang-undang (Pasal 1352 KUHPerdata).
Sehingga "perikatan" lebih bersifat abstrak, sedangkan perjanjian bersifat "nyata". Karena perikatan hanya merupakan bentuk dari suatu hubungan hukum antara para pihak.
Jelaskan tentang perbuatan manusia yang melanggar hukum sebagai salah satu sumber perikatan?
Jawab:
Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1353 KUH Perdata menjelaskan sebagai berikut:
"Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang karena perbuatan orang, dapat terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum".
Sehingga untuk perbuatan melanggar hukum tersebut maka dapat dikaitkan dengan Pasal 1365 KUHPer yang menjelaskan sebagai:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Contoh: Si A sedang memarkirkan kendaraannya di sebuah parkiran di suatu Mall, karena si A parkir mundur dan kurang hati-hati, Si A menyenggol mobil Si B yang telah parkir terlebih dahulu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, Si B dapat menuntut Si A untuk memberikan ganti rugi pada Si B, atas kerugian yang diderita oleh Si B yang dikarenakan perbuatan Si A.
Sebutkan sumber Perikatan yang saudara ketahui?
Jawab:
Sumber perikatan terdiri dari dua jenis, yaitu sebagai berikut:
a. Perikatan yang bersumber dari Persetujuan para pihak, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b. Perikatan yang bersumber dari Undang-undang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1352 KUH Perdata, yang menyatakan sebagai berikut:
"perikatan itu dapat timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang karena perbuatan orang".
Dan ditegaskan pula di dalam Pasal 1353 KUH Perdata menjelaskan sebagai berikut:
"Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang karena perbuatan orang, dapat terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum".
Sehingga perikatan dapat saja timbul karena perbuatannya yang bersumber dari UU atau karena perbuatannya yang melanggar UU (Perbuatan Melawan Hukum)
Apakah dasar hukumnya bahwa seseorang atau satu pihak yang melanggar perjanjian yang telah diadakan dengan pihak lain dapat dituntut secara hukum?
Jawab
Sebelum membahas lebih jauh, maka suatu perjanjian harus dinyatakan terlebih dahulu apakah perjanjian tersebut sah atau tidak.
Maka untuk perjanjian dapat dinyatakan sah, apabila dipenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu Perikatan
3. Suatu hal tertenu
4. Suatu sebab yang halal
Bila kemudian, unsur-unsur terpenuhi, maka dpt diberlakukan Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa setiap persetujuan (perjanjian) berlaku bagi UU yang membuatnya. Bila kemudian perbuatan melanggar perjanjian tersebut menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil, maka dapat menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata untuk menuntut ganti kerugian.
Maka berdasarkan Pasal 1238 KUHPerdata, dapat mengajukan ke Pengadilan Negeri yang berwenang untuk menerbitkan Surat Perintah atau Penetapan Pengadilan, agar yang melanggar suatu perjanjian melakukan pemenuhan prestasinya atau kewajibannya.