Para pecinta novel pasti pernah mendengar novel berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah. Ya, itu adalah salah satu karya Buya Hamka. Ia lahir di desa Kampung Molek, Sumatera Barat pada 1908. Nama Hamka merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Sebutan Buya pada namanya adalah panggilan Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti “ayahku” atau “seorang yang dihormati”. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, seorang ulama tanah Minang dan guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung.
Saat berusia 7 tahun, Hamka mendapatkan pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Pada usia 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di sana Hamka belajar agama dan banyak hal. Hamka meninggalkan kampung halamannya menuju Pekalongan, Jawa Tengah dan berpindah ke Yogyakarta. Pada 5 April 1929, Hamka dinikahkan dengan Siti Rahma binti Endah Sutan. Mereka memiliki 11 anak. Istrinya meninggal dan Hamka menikah lagi pada 1973 dengan Siti Khadijah.
Pada 1920-an, Hamka pernah menjadi wartawan di beberapa surat kabar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Paa 1928, ia menjadi editor Majalah Kemajuan Masyarakat. Ia juga pernah menjadi editor Al-Mahdi, Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Karya-karya Hamka dikenal dan menjadi perhatian umum. Di antaranya Tafsir Al-Azhar, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Merantau ke Deli. Karya lainnya yaitu Khatibul Ummah yang ditulis sebanyak tiga jilid dalam bahasa Arab, Si Sabariyah, Pembela Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Kepentingan Melakukan Tabligh, Lalila Majnun, Mati Mengundang Malu, dan masih banyak yang lainnya. Karena banyaknya buku yang ditulisnya, ia disebut sebagai Hamzah Fansuri pada era modern.
Hamka sendiri pernah menjadi dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang sejak tahun 1957 hingga tahun 1958. Ia juga menjabat sebagai rektor di Perguruan Tinggi Islam dan profesor di Universitas Moestopo, Jakarta. Hamka mempelajari filsafat secara otodidak. Ia mahir berbahasa Arab. Hamka pernah meneliti karya ulama dan pujangga besar Timur Tengah, seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Ia juga sering kali berdiskusi dengan HOS. Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachruddin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Pada tahun 1946, Hamka yang menjadi aktivis Muhammadiyah terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto. Pada tahun 1953, ia dipilih sebagai Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada tahun 1955, ia aktif di Masyumi. Pada pemilu tahun itu, ia terpilih menjadi anggota Konstituante mewakili Jawa Tengah. Hamka pernah dipenjara dan diasingkan di Sukabumi oleh Soekarno dari tahun 1964 hingga 1966 karena sikapnya yang konsisten terhadap agama. Selama di penjara, ia menghasilkan karya terbesarnya, Tafsir al-Azhar.
Pada tahun 1959, Hamka mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo atas jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan bahasa Melayu. Lalu pada tanggal 6 Juni 1974, ia memperoleh gelar kehormatan dari Universitas Nasional Malaysia di bidang kesusasteraan dan gelar profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo. Hamka juga pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia dan dilantik pada tanggal 26 Juli 1977. Pada tahun 1981, ia mengundurkan diri karena nasihatnya tidak dipedulikan pemerintah Indonesia. Hamka meninggal di Jakarta pada 24 Juli 1981 pada usia 73 tahun. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Hamka dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada 7 November 2011.
Di antara berbagai karyanya, Buya Hamka memiliki kumpulan kata mutiara hikmah yang sangat inspiratif. Di antaranya sebagai berikut.
“Jangan takut jatuh karena yang tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh. Jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagal yang tidak pernah melangkah. Jangan takut salah, karena dengan kesalahan yang pertama kita dapat menambah pengetahuan baru dan mencari jalan yang benar pada langkah yang kedua.”
“Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.”
“Adil adalah menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak yang empunya, serta jangan berlaku zalim di atasnya.”
“Semakin banyak ilmu semakin lapang hidup, semakin kurang ilmu semakin sempit hidup.”
“Kata-kata yang lemah dan beradab dapat melembutkan hati manusia yang keras.”
“Ikhlas dan sejati akan bertemu di dalam senyuman anak kecil, senyum yang sebenarnya senyum, senyum yang tidak disertai apa-apa.”
“Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang, bukan terletak pada wajah dan pakaiannya.”
“Sewaktu kecil anak-anak lelaki menjadi perhiasan mata karena lucunya, karena menjadi tumpuan harapan. Setelah besar, ia menjadi kebanggaan karena kesuksesan hidupnya.”
“Anak adalah untuk zaman yang akan datang, bukan untuk zaman kita. Salahlah orangtua yang hendak mendidik anaknya seperti mereka juga.”
“Berani menegakkan keadilan, walaupun mengenai diri sendiri adalah puncak segala keberanian.”
“Supaya engkau memperoleh sahabat, hendaklah diri engkau sendiri sanggup menyempurnakan menjadi sahabat orang.”
“Lebih banyak orang menghadapi kematian di atas tempat tidur daripada yang mati di atas pesawat. Namun, kenapa lebih banyak orang yang takut mati ketika menaiki pesawat daripada orang yang takut menaiki tempat tidur.”
“Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitik embun yang turun dari langit, bersih, dan suci. Jika ia jatuh ke tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai terpuji.”
“Diribut runduklah padi. Dicupak datuk Temenggung. Hidup kalau tidak berbudi. Duduk tegak kemari canggung. Tegak rumah karena sendi. Runtuh bui rumah binasa. Sendi bangsa ialah budi. Runtuh budi runtuhlah bangsa.”
* Dikutip dari buku Kata-kata Yang Mengubah Dunia oleh Zulfa Simatur (VisiMedia. 2013)