Persoalan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) kembali ramai dibincangkan dalam diskusi buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI, Senin 22 September 2008. Acara yang digelar di gedung CSIS, Jakarta, ini dihadiri pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Harry Tjan Silalahi, Wapemred Harian Kompas, Trias Kuncahyono, Wahyu Effendi, penulis buku ini dan Ketua Umum Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (Gandi), Indradi Kusuma, Pendiri Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI). Acara bedah buku sekaligus peluncuran buku ini juga dipadati wartawan dari media cetak, online, dan televisi. Nampak hadir pula Christanto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) dan mantan wartawan Tempo.
Persoalan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) kembali ramai dibincangkan dalam diskusi buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI, Senin 22 September 2008. Acara yang digelar di gedung CSIS, Jakarta, ini dihadiri pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Harry Tjan Silalahi, Wapemred Harian Kompas, Trias Kuncahyono, Wahyu Effendi, Ketua Umum Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (Gandi), Indradi Kusuma, Pendiri Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI). Acara bedah buku sekaligus peluncuran buku ini juga dipadati wartawan dari media cetak, online, dan televisi. Nampak hadir pula Christanto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) dan mantan wartawan Tempo.
Diskusi buku ini dibuka Mulyono, pemimpin redaksi Visimedia Pustaka. Ia menceritakan kronologi proses perubahan judul buku yang awalnya Keindonesiaan Yang Diragukan. Namun berhubung terkesan kurang greget buku bersampul merah ini akhirnya diubah menjadi Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI. Buku ini ditulis oleh Wahyu Effendi dan Prasetyadji. Selanjutnya Wahyu Effendi, penulis buku ini, menyambung bahwa persoalan SBKRI ini sebenarnya hanya sebatas wacana. Ia menambahkan, SBKRI itu masih sebatas "sunnah", jika dilakukan dapat pahala dan jika tidak dilakukan tidak apa-apa." Padahal substansi dari SBKRI ini sebenarnya memiliki keterkaitan erat dengan persoalan kebangsaan dan kewarganegaraan. SBKRI adalah sebuah wujud diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang seharusnya ditiadakan.
Sebagai catatan SBKRI, sebenarnya sudah dihapuskan sejak dikelurkannya Kepres No 56/1996 dan Inpres Nomor 4/1999. UU tahun 2006 tentang kewarganegaraan kembali mempertegas penghapusan SBKRI. Namun dalam praktiknya SBKRI masih diberlakukan. Anehnya, seringkali SBKRI ini hanya menyasar etnis Tionghoa.
Dalam diskusi yang dimoderatori Protus Tanuhandaru, Indradi Kusuma secara panjang lebar menceritakan sejarah kelahiran dan diskursus SBKRI dari tahun ke tahun. Apresiasi positif datang dari Trias Kuncahyono saat menilai buku ini. "Buku ini bisa dijadikan referensi, layak dibaca, dan kaya akan informasi," ujarnya sembari menyisipkan wacana multikultural dalam diskusi itu. Buku ini dirasa cukup praktis, sebab bisa dijadikan panduan bila masyarakat awam (Tionghoa) ingin "melawan" saat dimintai persyaratan SBKRI ini. Bagi Harry Tan Silalahi, SBKRI ini adalah soal pemanfaatan oleh birokrasi. Ia menambahkan masyarakat bisa saja mengajukan perlawanan ataupun mentuntut perubahan secara tuntas dan sistemik.
Diskusi ini dijeda sejenak dengan acara buka bersama. Sayangnya, Prof. Dr Juwono Sudarsono, Guru Besar Universitas Indonesia, batal hadir sehubungan ada acara mendadak dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cilangkap.