Shopping Cart

Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Blog

SBKRI Diantara Praktik Penyelewengan

Kehadiran SBKRI sejak dulu menjadi "jalan buntu" bagi etnis Tionghoa saat mengurus akta kelahiran ataupun KTP. Bahkan setelah penghapusan SKBRI, etnis Tionghoa masih seringkali dimintai menunjukkan surat berbau rasialis itu. Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), sebenarnya sudah dihapuskan sejak dikelurkannya Kepres No 56/1996 dan Inpres Nomor 4/1999. UU tahun 2006 tentang kewarganegaraan kembali mempertegas penghapusan SBKRI.

Kehadiran SBKRI sejak dulu menjadi "jalan buntu" bagi etnis Tionghoa saat mengurus akta kelahiran ataupun KTP. Bahkan setelah penghapusan SKBRI, etnis Tionghoa masih seringkali dimintai menunjukkan surat berbau rasialis itu. Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), sebenarnya sudah dihapuskan sejak dikelurkannya Kepres No 56/1996 dan Inpres Nomor 4/1999. UU tahun 2006 tentang kewarganegaraan kembali mempertegas penghapusan SBKRI.

Soal SBKRI ini pernah ditulis Ariel Heryanto di Kompas, 02 Mei 2004. Ia menuliskan pengalaman Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang saat itu akan berangkat ke olimpiade Yunani. Susi dan Alan sempat terganjal akibat diragukan kewarganegaraannya. Masih dalam tulisan yang berjudul SBKRI Ariel menambahkan, "Ada jutaan orang lain punya pengalaman serupa. Jauh lebih buruk daripada pengalaman Susi-Alan. Mereka bukan juara dunia bulutangkis. Penderitaan mereka tak punya nilai-berita untuk media massa."

Memang dijajaran birokrasi praktik penyelewengan itu kerap kali terjadi di lapangan. Birokrasi pada umumnya tetap meminta untuk SBKRI orang tuanya meski seseorang telah memiliki KTP atau Paspor. Berangkat dari persoalan berbau diskriminatif dan sarat penyelewengan, Wahyu Effendi (Tjao Jiu Tie) dan Prasetyadji, menuliskan ke dalam buku berjudul Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI. Buku ini mencoba menjawab mengapa SKBRI masih saja menjadi masalah. Tak hanya itu, solusi serta bagaimana cara mengantisipasi pun diuraikan dalam buku yang baru saja diterbitkan Visimedia.

Buku ini bermanfaat sekali terutama bagi etnis Tionghoa saat bertemu oknum-oknum birokrat yang menjalankan praktik penyelewengan. Bila menghadapi kasus seperti ini ada tiga langkah tindakan. Pertama, konfrontasi secara langsung dengan menunjukkan Keppres, instruksi mendagri, surat edaran direktur jenderal. Kedua, bila langkah pertama gagal, pemohon minta surat keterangan bahwa kewarganegaraannya diragukan. Ketiga, bila gagal juga, sampaikan ke surat pembaca dan ke kotak pos 10000, dan adukan ke Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI), INTI, ataupun Solidaritas Nusa Bangsa.

Buku ini akan diluncurkan Senin, 22 September 2008 di gedung CSIS, Jl Tanah Abang 3 No 27, pukul 16.00 –18.30 WIB. Akan diundang dalam peluncuran buku itu, Prof. Dr Juwono Sudarsono (Guru Besar Universitas Indonesia), Mohammad Sobary (Budayawan), Harry Tjan Silalahi (pendiri CSIS), KH Said Aqiel Siradj (ulama, pendiri GANDI), Slamet Effendy Yusuf, SH (mantan Ketua Pansus RUU Kewarganegaraan).

Write a Reply or Comment