Penulis: H. Maulwi Saelan
Ukuran: 15 x 23 cm
ISBN: 979 104 399 X
Buku ini adalah sekadar catatan perjalanan hidup dengan romantikanya, bukan otobiografi seperti yang biasa kita kenal yang dibuat untuk orang-orang terkenal atau merasa terkenal.
Tentu saja buku ini diharapkan bisa mempunyai manfaat untuk disimak, karena berkaitan erat dengan revolusi fisik bangsa Indo¬nesia, bahkan berkaitan langsung dengan Pemimpin Besar Revolusi itu sendiri, BUNG KARNO.
Mungkin yang paling mengesankan dari kisah perjalanan hidup ini, ialah hari-hari terakhir bersama Bung Karno, yang dipenuhi hujatan dan penghinaan semena-mena, yang dilemparkan oleh pahlawan-pahlawan Orde Baru ditujukan kepada Bapak Bangsa, Bung Karno, yang jasa-jasanya sangat dimengerti oleh semua orang.
Pada periode penghujatan dan penghinaan, segera kelihatan bagaimana bangsa Indonesia yang terkenal lemah-lembut dan sopan santun, tiba-tiba saja berubah menjadi biadab, mudah meludahi muka orang untuk menghina, padahal seharusnya dihormati, hanya karena kebencian yang sudah merasuk. Dengan tudingan kesalahan yang tidak pernah dibuktikan secara hukum, Bung Karno ditumbangkan lewat mengobarkan semangat kebencian atas dirinya. (H. Maulwi Saelan)
Saelan, percayalah! Saya yakin nanti sejarah akan mengungkapkan kebenaran dan siapa yang sebetulnya benar, Soeharto atau Soekarno! (Bung Karno)
"Kalau pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri. Dan kalau kalian tak mampu melakukan itu, lebih baik kalian jangan pakai celana lagi, tapi tukar saja dengan sarung!" (DN Aidit)
Bung Karno meninggalkan Istana sebelum 16 Agustus 1967, keluar hanya memakai celana piyama warna krem dan kaos oblong cap cabe. Baju piyamanya disampirkan di pundak, memakai sandal cap Bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas koran yang digulung agak besar, isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. (Sogol Djauhari Abdul Muchid, anggota DKP)
"De Belandas hebben mij nog goed behandelt, maar, bangsa sendiri begitu kasar dan kejam. Is dit als dank dat ik gekregen heb, voor wat ik gedaan heb voor mijn volk en vanderland. Ik kan dit alles maar niet begrijpen. Apakah ini bentuk terima kasih yang kudapat atas apa yang telah kulakukan untuk rakyat dan Tanah Air? Aku tidak bisa mengerti semua ini. Ik wou maar dat ik de schot krijgt. Aku ingin agar aku ditembak saja." (Bung Karno)