Shopping Cart

Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Blog

Mendongeng: Cara Didik Ibu dari Putra Sang Fajar

intro-ibu-soekarno

intro-ibu-soekarnoSiapa yang tak kenal sosok satu ini? Memiliki banyak julukan, seperti “Pemimpin Besar Revolusi”, “Putra Sang Fajar”, “Sang Proklamator”, dan banyak lagi. Dia adalah Ir. Soekarno, presiden pertama negara kita. Lahir di Blitar pada tanggal 6 Juni 1901, Soekarno punya nama kecil Koesno Sosrodiharjo. Orang tuanya menanamkan dua karakter berbeda saat Soekarno masih anak-anak.

header-ibu-soekarno

Sumber foto Ir. Soekarno: Google

Siapa yang tak kenal sosok satu ini? Memiliki banyak julukan, seperti “Pemimpin Besar Revolusi”, “Putra Sang Fajar”, “Sang Proklamator”, dan banyak lagi. Dia adalah Ir. Soekarno, presiden pertama negara kita.

Lahir di Blitar pada tanggal 6 Juni 1901, Soekarno punya nama kecil Koesno Sosrodiharjo. Orang tuanya menanamkan dua karakter berbeda saat Soekarno masih anak-anak. Ayahnya yang keras mengajarkan disiplin tinggi, sementara sang ibu sering menyayanginya agar tertanam sifat lembut dan kasih sayang. Dua karakter ini terbukti ketika Soekarno akhirnya terpilih menjadi presiden kelak.

Yang menarik, Soekarno kecil ternyata lebih condong ke ibu untuk mencurahkan segala isi hati dibandingkan kepada ayahnya.  Ida Ayu Nyoman Rai, sang ibu, memang berhasil menjadikan dirinya sebagai sahabat Soekarno kecil.

Idayu, demikian panggilan sang ibunda, kerap mendongengi Soekarno setiap hendak pergi tidur. Inilah salah satu hal yang merekatkan hubungan antara orangtua dengan anak tersebut. Ia akan menceritakan kisah Mahabharata dan Ramayana ke dalam cuplikan-cuplikan cerita pewayangan. Kisah-kisah pejuang nusantara pun diceritakannya kepada Soekarno seperti Gajahmada dan Sriwijaya. Melalui dongeng yang diambilnya dari kisah-kisah klasik Indonesia, Idayu menanamkan nilai-nilai perjuangan dan wawasan kebangsaan kepada Soekarno. Tak mengherankan, ketika dewasa Soekarno banyak mengutip kisah-kisah ini dalam pidato-pidatonya.

Dikisahkan oleh Asvi Warman Adam, sewaktu Soekarno di Penjara Sukamiskin, Bandung, pada 1927, Idayu datang menjenguk. Ketika ditanya sipir penjara Belanda, ia menjawab, “Ibune Soekarno”. Sipir itu malah marah-marah karena perempuan tersebut tidak berbahasa Belanda, sedangkan Soekarno hanya tertawa geli. Setelah putranya menjadi Presiden RI, Idayu tidak mau datang ke Istana. Justru anaknya yang disuruh ke rumahnya di Blitar.

Soekarno begitu dekat dengan sang bunda.  Hal ini terlihat dalam banyak kesempatan, baik sehabis kembali dari pembuangan maupun dari tugas apa pun, orang pertama yang ia jumpai adalah ibunya. Soekarno senantiasa bersimpuh dan sungkem untuk memohon doa restu dari Idayu. Hal ini menjadi semacam “ritual” yang tak pernah ditinggalkan Soekarno sepanjang hidup ibunya.

Idayu adalah seorang ibu yang tidak mempunyai cita-cita muluk. Tidak seperti ibu-ibu Indonesia lain pada zamannya, yang menginginkan anaknya bekerja menjadi pegawai pemerintahan agar mendapat sebutan “priyayi”. Idayu hanya ingin putranya itu dapat menjadi orang berguna bagi masyarakat. “Jadilah kau Kusno, orang yang baik-baik, sehat, dan selamat,” demikian selalu yang diharapkan Idayu.

Ketika Idayu wafat pada tanggal 12 September 1958, semua media massa mengabarkan duka tersebut. Sebagian besar menulis tentang kepahlawanan Idayu dalam mendidik Soekarno sehingga menjadi pemimpin yang hebat dan dicintai rakyat.


 

kutuntun-kau-menjadipelita-depanKisah para ibunda tokoh-tokoh dunia dengan berbagai latar dan perjuangan terangkum dalam buku “Kutuntun Kau Menjadi Pelita” karya Diyah Kusumawardhani. Buku ini akan mengajak Anda merenung tentang kegigihan seorang ibu dalam membekali anaknya hingga menjadi orang besar dan mampu mengubah dunia.

 

Write a Reply or Comment