Shopping Cart

Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Blog

Metafora Badak di Negeri Ini

Antara 1998 hingga 1999 adalah tahun penuh kerusuhan, penjarahan, perkosaan, dan pertumpahan darah di Indonesia. Seperti biasa, rakyat kecil selalu menjadi korban. Riuh ramai suara rakyat mendambakan perubahan baru, tidaklah mulus—seperti yang diduga sebelumnya. Buruh tani, mahasiswa, kaum miskin kota, dan para demonstran lainnya selalu dihadang tentara. Ada yang diintimidasi. Ada yang diculik secara sistematis dan tak tahu kabar hingga sekarang. Ada yang luka dan trauma. Ada pula yang mati tertembus timah panas. Antara 1998 hingga 1999 adalah tahun penuh kerusuhan, penjarahan, perkosaan, dan pertumpahan darah di Indonesia. Seperti biasa, rakyat kecil selalu menjadi korban. Riuh ramai suara rakyat mendambakan perubahan baru, tidaklah mulus—seperti yang diduga sebelumnya. Buruh tani, mahasiswa, kaum miskin kota, dan para demonstran lainnya selalu dihadang tentara. Ada yang diintimidasi. Ada yang diculik secara sistematis dan tak tahu kabar hingga sekarang. Ada yang luka dan trauma. Ada pula yang mati tertembus timah panas.
Tentu kita tak melupakan peristawa 13-14 Mei 1998. Tentu kita tidak lupa peristiwa Semanggi dan bentrokan para mahasiswa dengan aparat. Jika Anda lupa, maka, F Rahardi, penyair dan sastrawan ini mengingatkan dalam penggalan prosa liriknya:
….
“Sudah berapa aktivis politik yang kamu culik?” yang kamu culik?” “Empat puluh!” “Buset. Banyak banget. Kata Koran-koran hanya duabelas?” “Sumber mereka sumber sekunder!” “O! Lalu kamu apakan mereka itu ya?” “Ya didor lalu dibuang ke laut.” “Kok sadis amat kamu itu ya?” “Saya bagian dari sebuah sistem dan struktur yang lebih besar lagi yang sadis ya sistem dan strukturnya itu. Bukan saya!” “Lalu huru-hara itu? Katanya yang menggerakkan dan memrovokasi anak buah Anda?” “Memang. Itu berlangsung sampai sekarang. Mengapa saya hanya diam? Kembali, saya adalah bagian dari sebuah struktur dan sistem.” “Lalu mahasiswa yang ditembak? Lalu penjarahan? Perkosaan? Pembunuhan para ulama itu? Pembakaran gereja, pembakaran mesjid?”
….
Pasca kerusuhan, masih dalam penggalan yang berbeda, penyair kelahiran Ambarawa ini menggambarkan kenyataaan sosial yang ada.
….
Setelah tahun-tahun berdarah
tahun-tahun perkosaan
tahun-tahun penjarahan
dan huru-hara badak berkepanjangan
Jakarta kembali normal
Tetapi banyak hal menjadi lain.
…
Mahasiswa yang selama ini
identik dengan demo
sekarang sempat pacaran
nonton konser
dan nyetel VCD BF
…
 “Belajar ya nantilah
Kalo mau ujian.
Nyontek kan
hukumnya halal?”
…
partai-partai politik tetap ramai
seperti anak-anak TK
yang berhamburan ke arena
play ground
setelah sekian jam diperam di kelas.
…
Sebagai sebuah refleksi penggalan perjalanan Indonesia dapat kita simak dalam karya-karya penyair dan seniman F. Rahardi. Ia membukukan dalam Negeri Badak yang dijahit setebal 318 halaman. Buku ini hampir diterbitkan pada tahun 2000, berhubung penerbit yang bersangkutan banyak menyensor isinya, maka Rahardi menarik kembali naskah tersebut. Baru tahun 2007 ini, penerbit Visimedia memublikasikan.
Dalam Negeri Badak, Rahardi menulis dengan mengalir jujur, apa adanya, dan terkadang diselingi humor. Dalam buku ini ia berbicara soal kemerdekaan, ketertindasan, konflik sosial, politik, dan hantaman krisis moneter dan soal keruwetan di Indonesia. Pun rekaman berbagai peristiwa di Indonesia yang dijahit dalam prosa lirik yang bercampur dengan gaya bertutur. Membaca prosa lirik dalam buku Negeri Badak karya F Rahardi, seperti halnya menyimak lagu Darah Juang yang sering dinyanyikan para aktivis ketika berdemonstrasi. “Di sini negeri kami tempat padi terhampar. Samudranya kaya raya, tanah kami subur Tuhan. “Mereka dirampas haknya, terbujur dan lapar. Bunda relakan darah juang kami untuk membela rakyat. Usai dicengkeram dalam genggaman rezim Soeharto, rakyat Indonesia hingga kini belum terbebas dari kemiskinan, penindasan, kejelasan nasib, dan rasa hidup yang nyaman. Walaupun telah enam Presiden berganti tapi kemakmuran masih impian. Rakyat telah telah menjerit dan berontak, tapi pemerintah kurang progresif, bahkan mereka masih seperti batu.

Write a Reply or Comment