Shopping Cart

Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Blog

Pemikiran Seorang Pejuang yang Konsisten

Selama ini orang banyak hanya mengenal Bung Tomo sebagai pengobar semangat juang pada Pertempuran 10 November 1945 melalui corong Radio Pemberontakan, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Barangkali banyak orang yang tidak tahu, terutama generasi muda, bahawa Bung Tomo pernah mendapat pangkat mayor jenderal dan menjadi pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia bersama Jenderal Soedirman, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, Komodor Surjadarma, dan Laksamana Nazir; pernah menjadi menteri (Menteri Urusan Veteran dalam Kabinet Burhanuddin Harahap (1955 – 1956); anggota DPR (1956 – 1959); dan pernah ditahan pemerintah Orde Baru selama satu tahun (1978 – 1979). Selama ini orang banyak hanya mengenal Bung Tomo sebagai pengobar semangat juang pada Pertempuran 10 November 1945 melalui corong Radio Pemberontakan, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Barangkali banyak orang yang tidak tahu, terutama generasi muda, bahawa Bung Tomo pernah mendapat pangkat mayor jenderal dan menjadi pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia bersama Jenderal Soedirman, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, Komodor Surjadarma, dan Laksamana Nazir; pernah menjadi menteri (Menteri Urusan Veteran dalam Kabinet Burhanuddin Harahap (1955 – 1956); anggota DPR (1956 – 1959); dan pernah ditahan pemerintah Orde Baru selama satu tahun (1978 – 1979).

Meskipun berusaha ditutupi atau dihilangkan oleh beberapa pihak, Bung Tomo tetap memiliki peran dan andil luar biasa dalam sejarah Bangsa Indonesia. Peran dan andil itu hanya bisa kita ketahui, salah satunya dengan cara mau membaca dan mengkaji kembali gagasan dan pemikiran, serta mempelajari sejarah perjuangannya.

Buku karya Sutomo (Bung Tomo) yang diberi judul Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat. Judul itu bukan tanpa alasan. “Menembus Kabut Gelap” berasal dari judul tulisan Bung Tomo “Nota 10 November” yang dibagi-bagikannya kepada para politisi dan militer pada decade 1950-an. Sementara itu, “Bung Tomo Menggugat” merupakan judul artikel berdasarkan wawancara wartawan Merdeka menjelang Hari Pahlawan tahun 1972 yang dimuat di Panji Masyarakat No. 855 Tahun XIII dengan judul lengkap “Bung Tomo Menggugat: Pengorbanan Pahlawan Kemerdekaan dan Semangat 10 November 1945 telah Dikhianati” yang berisi kritikan terhadap kebijakan Presiden Soeharto, Gubernur Ali Sadikin, dan Bulog yang seolah-olah menganak-emaskan etnis Tionghoa. Kedua judul itu memang tampak pas jika disandingkan, apalagi tulisan-tulisan Bung Tomo ini juga mencerminkan gugatan pribadinya terhadap situasi saat itu yang tengah “berkabut dan gelap”.

Buku terbitkan VisiMedia Pustaka ini mengungkapkan sebagian kecil pemikiran Bung Tomo, baik yang berupa artikel dan surat yang sudah dipublikasikan maupun belum, yang ditulis dari tahun 1955 – 1980, setahun sebelum meninggal. Untuk memudahkan pembaca, tulisan-tulisannya dibagi menjadi Sembilan bab, yakni Bab 1: Surat terbuka kepada Presiden Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower, Bab2: Nota 10 November, Bab 3: Surat untuk kader Partai Rakyat Indonesia, Bab 4: Tentang Bung Karno, Bab 5: Tentang Presiden Soeharto, Bab 6: Konsepsi Pejuang 45, Bab 7: Tentang Hubungan Antargenerasi, Bab 8: Tentang Pahlawan, dan Bab 9: Surat-surat Pendek.

Ada dua kesan mendalam yang bisa dipetik setelah membaca seluruh tulisan Bung Tomo ini. Pertama, kita seolah-olah dibawa kembali ke masa silam untuk mengikuti alur sejarah bangsa ketika tulisan itu ditulis. Kedua, kita akan mengetahui dan memahami semangat dan konsistensi Bung Tomo sebagai pejuang yang benar-benar ingin membebaskan bangsanya dari belenggu penjajah dan kemiskinan. Dari sana kita bisa melihat keberanian, kejujuran, dan kepolosan Bung Tomo dalam menghadapi situasi kondisi zamannya. Betapa tidak? Dia tanpa tedeng aling-aling, tanpa sungkan, dan tanpa ewuh pakewuh dengan beraninya mengkritik kebijakan Bung Karno, Soeharto, serta para pejuang, baik kaum politisi maupun militer pada zamannya. Kritik yang tidak sekadar njeplak atau asbun (asal bunyi), tetapi kritik yang didasari fakta dan disertai solusi yang bijak.

Jika kita tidak memahami kepribadian dan mengetahui gerak perjuangnya, barangkali akan muncul kesan bahwa Bung Tomo itu rasis dan anti-Cina. Namun, jika kita mau merenungkan dan memahaminya sesuai dengan konteks zamannya, kesan itu akan sirna dengan sendirinya. Apalagi setelah menyadari situasi dan kondisi kekinian, pemikiran, kritik, dan “prediksi” Bung Tomo saat itu, ternyata sangat relevan dan bahkan kini telah menjadi kenyataan.

Buku karya Sutomo ini bukan merupakan buku sejarah, tetapi buku yang berasal dari tulisan seorang aktor sejarah yang bisa dijadikan sebagai sumber sejarah. Dengan membaca buku ini kita bisa menilai eksistensi dan konsistensi perjuangan seorang Sutomo yang hingga detik ini kepahlawanannya masih dianggap kontroversial dan belum mendapatkan gelar pahlawan. Selain itu, dengan membaca buku Bung Tomo Menggugat ini kita pun bisa menelusuri dan menilai perjalanan sejarah bangsa sejak 1955 hingga 1980.

Write a Reply or Comment